Ibrahim menghadapi dua pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan menyelamatkan Ismail atau mentaati perintah Allah dengan mengorbankannya.
Yang engkau sayangi, buah-hatimu, sumber kebahagiaanmu, yang memberikan alasan kepadamu untuk terus hidup, yang memberikan arti kepada eksistensimu, puteramu itu.
Oh bukan, Ismailmu itu - seperti seekor domba, robohkanlah dia dan korbankan dia! Injaklah kaki dan tangannya agar ia tidak terlepas. Jambak rambutnya dan potonglah urat nadi di lehernya, tetapi hendaklah ia tetap berada di dalam injakanmu sehingga ia tidak bergerak lagi. Setelah itu bangkitlah dan tinggalkanlah ia sendiri!
Wahai “Hamba” Allah yang patuh! Inilah kehendak Allah untuk engkau lakukan. Inilah yang diminta oleh keyakinanmu. Inilah inti wasiat yang engkau sampaikan, wahai manusia yang bertanggung jawab. Wahai ayah Ismail! Inilah kewajiban yang harus engkau laksanakan!
Ibrahim harus memilih salah satu di antara keduanya. “Cinta” dan “kebenaran” berperang di dalam batinnya.Cinta yang merupakan hidupnya, dan kebenaran yang merupakan agamanya.
Seandainya yang diperintahkan Allah adalah ia mengorbankan dirinya sendiri … maka tidak sulit baginya untuk menentukan pilihan.
Ibrahim telah mempertaruhkan nyawanya demi Allah dan kenyataan inilah yang menyebabkan ia merasa telah menaati Allah. Tetapi perasaan yang seperti itulah yang merupakan sikap mementingkan diri sendiri dan kelemahan dirinya. Ibrahim adalah manusia yang paling hampir kepada Allah.
Wahai Ibrahim! Pasrahkanlah Ismailmu itu!
Engkau ragu-ragu. Sesungguhnya sikap ragu-ragu sangat berbahaya dan dapat mencelakakan dirimu. Karena ragu-ragu engkau melarikan diri dengan membuat penafsiran dan mencari-cari alasan. Demikianlah yang engkau lakukan jika hatimu membenci sedang keyakinanmu mencinta!
Rasa tanggung jawab mendorong Ibrahim untuk menyerahkan puteranya, tetapi hal itu sangat berat untuk dilaksanakannya. Ia mencoba mencari-cari alasan agar ia dapat menghindari kewajiban tersebut.
Yang lebih buruk dari penafsiran yang salah adalah adalah penjelasan yang benar (bersandar kepada sebuah kenyataan untuk menyangkal kenyataan yang lainnya), sedangkan yang terlebih buruk lagi adalah apabila kepalsuan memiliki pedang kearifan di tangan yang satu dan perisai agama di tangan yang lain.
Korbankanlah Ismailmu!
Bagaimana aku tahu apa makna yang terkandung di dalam perintah ini? Bagaimanakah aku memperoleh kepastian bahwa perkataan korbankanlah itu bersifat figuratif seperti perkataan korbankanlah dirimu yang berarti janganlah engkau menghamba kepada instink-instinkmu itu! Bagaimanakah aku mengetahui bahwa yang dimaksudkan dengan mu di dalam perkataan ismailmu itu adalah aku pribadi dan oleh karena itu perintah itu harus aku laksanakan? Apakah seruan itu tidak bersifat kolektif? Bagaimanakah aku tahu bahwa yang dimaksudkan dengan perkataan itu tidak bersifat figuratif?
Misalkan bahwa segala kemungkinan-kemungkinan ini adalah mustahil, tidak ada satupun dari penafsiran-penafsiran itu ada yang benar, dan perintah tersebut seperti yang dipahami oleh setiap orang! Tetapi bagaimanakah aku mengetahui bahwa perintah korbankanlah Ismailmu itu harus aku laksanakan dengan segera? Seperti di dalam setiap hukum tertulis maka di dalam perintah ini pun tidak ada batasan waktu. Kearifanlah yang dapat menentukan saat pelaksanaan perintah itu dengan mempertimbangkan keadaan-keadaan, kebijaksanaan-kebijaksanaan, kemungkinan-kemungkinan, dan potensi-potensi yang ada. Al-Qur’an menyerukan agar kita ikut berjihad, tetapi waktu pelaksanaan dan bentuknya tergantung kepada kondisi-kondisi yang dipertimbangkan oleh kearifan. Sebagai contoh lihatlah hadits yang menyerukan agar kita menuntut ilmu pengetahuan.Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim laki-laki dan perempuan!
Tidak seorang pun dipaksa untuk menuntut ilmu pengetahuan pada waktu tertentu. Sekalipun seseorang melakukannya pada saat menjelang ajalnya, sesungguhnya ia telah mematuhi seruan hadits tersebut dan telah melaksanakan kewajibannya.
Sebuah contoh lainnya adalah ibadah haji yang diwajibkan kepada setiap muslim. Banyak kaum muslimin yang tidak melakukannya sebelum mereka berkecukupan dan setelah itu barulah mereka mengambil keputusan untuk menunaikannya. Inilah sebuah kewajiban yang dapat dilaksanakan kapan saja. Mereka berpendapat, bahwa haji adalah sebuah kewajiban untuk kepentingan hidup akhirat, bukan untuk kepentingan di atas dunia ini. Mereka berpendapat bahwa hukum-hukum yang paling religius adalah untuk memperoleh kebahagiaan dan ampunan Allah di akhirat nanti, bukan untuk pendidikan, kemajuan, dan kesempurnaan hidup mereka di dunia ini. Apakah makna mu itu seperti itu?
Dari sebuah sudut pandangan metodologis, bagaimanakah aku dapat mengetahui bahwa seruan korbankanlah Ismailmu yang bernada perintah itu tidak hanya sekedar saran tetapi merupakan keharusan? Mungkin sekali seruan itu memang merupakan sebuah saran. Ia tidak sama dengan seruan “keluarkanlah zakat” yang mengharuskan setiap orang memberikan kepada orang-orang miskin bagian yang menjadi hak mereka. Seruan itu mirip dengan:
“Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang batil dan janganlah kalian mempergunakannya untuk dibenarkan oleh para hakim sehingga dengan sepengetahuan kalian, kalian memakan hak orang lain yang sesungguhnya tidak halal bagi kalian. (Q.S 2:188).
Memakan hak orang lain adalah perbuatan yang dibenci Allah. Perintah yang terkandung di dalam ayat al-qur’an di atas dimaksudkan agar menjadi petunjuk bagi kita. Perintah-perintah yang seperti ini atau perintah-perintah yang dimaksudkan sebagai peringatan bahwa kita harus mengambil keputusan berdasarkan kearifan kita.
Lalu, jika semua penafsiran di atas kita abaikan maka yang dimaksudkan Allah dengan perintahnya itu adalah untuk memperingatkan kepada kita bahwa kecintaan kita kepada anak tidak ada faedahnya. Apakah begitu?
Demi kebenaran, engkau harus mengorbankan semua kepentingan yang memenuhi pikiranmu dan menghalangi komunikasimu dengan Allah. Karena kecintaannya kepada Ismail dapat membuat Ibrahim lupa kepada tanggung jawabnya, maka Allah memerintahkan agar ia mengorbankan Ismail sehingga ia dapat menyerah secara total kepada kehendak Allah.
Seperti yang sudah kami katakan, mengorbankan Ismailmu berati membuang kebahagiaanmu karena kehadiran ismail dan kecintaanmu kepadanya. Esensi yang serupa dapat disimpulkan dari ayat Al-Qur’an yang berikut ini:
“Ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu adalah sebagai ujian (Q.S 8:28).
Menurut penjelasan-penjelasan ayat-ayat al-qur’an, kisah-kisah, penilaian-peniulaian menurut sains metodologis dan rasionalisasi yang bijaksana serta cukup beralasan maka untuk tujuan-tujuan kebajikan sesungguhnya membunuh manusia adalah dosa! Perintah yang sekejam itu tidak mungkin bersumber dari Allah Yang Maha pengasih dan maha mulia.
Ya! Sebuah penjelasan untuk menemukan sebuah jalan keluar dipergunakan jika kenyataaan sulit untuk diterima dan menerima tanggung jawab berlawanan dengan hal-hal yang diingini serta didambakan.
Apabila kenyataan dan keadilan hanya merupakan semboyan-semboyan kosong di dalam kehidupan maka banyak yang akan berbicara mengenai keadilan dan hak-hak asasi manusia. Mereka ini akan membela pernyataan-pernyataan mereka dengan melakukan beberapa perbuatan baik di samping kehidupan rutin sehari-hari, terus melakukan usaha mereka, dan hidup berbahagia tanpa terganggu.
Apabila kenyataan dan keadilan sejalan dengan kehidupan mereka maka keduanya akan dipergunakan sebagai modal, alat, kemasyhuran, pangkat, pekerjaan, dan hak untuk hidup. Di dalam hal ini orang-orang tidak berbicara hanya mengenai keadilan. Mereka menganggap diri mereka benar dan ingin membela manusia-manusia lainnya.
Tetapi apabila kebenaran berlawanan dengan kehidupan sehari-hari maka pendukung kebenaran dan keadilan akan menghadapi kesulitan dan berada di dalam bahaya. Mereka harus memikul tanggung jawab yang sangat berat, menemukan jalan di malam yang kelam dan berbadai dan menghadapi segala resiko dan marabahaya. Semakin jauh jalan yang mereka tempuh semakin sedikit sahabat mereka hingga menjadi segelintir saja atau tidak ada sama sekali. Mereka harus meninggalkan apapun juga yang menghalangi jalan mereka, terutama sekali orang-orang yang hidup di alam kezhaliman serta terbiasa dengan keadaan yang seperti itu.
Allah Yang Maha Kuasa memerintahkan agar engkau mengorbankan hidupmu, mengorbankan hal-hal yang engkau cintai, dan meneruskan perjalananmu. Tetapi godaan-godaan syetan mendesak agar engkau berhenti dan mengikuti segala sesuatu yang sebenarnya harus engkau korbankan itu.
Bagaimanakah caranya? Dengan penjelasan-penjelasan! Atau dengan berusaha agar engkau mengubah keyakinanmu untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhanmu. Penjelasan itu adalah sedemikian rupa sehingga engkau tidak dituduh kafir membangkang perintah Allah dan mengkhianati ummat manusia.
Di sini penjelasan berarti menyatakan kepalsuan sebagai kebenaran. Engkau boleh memberikan sebutan-sebutan lain dengan sekehendak hatimu, penjelasan-penjelasan sosial, moral, ilmiah, psikologis, dialektis, ataupun intelektual, tetapi apa bedanya?
Di dalam haji dan di dalam sejarah hidup Ibrahim—tokoh besar yang memperoleh kemenangan di dalam semua cobaan terhadap dirinya, jujur, benar, tulus, dan berjihad untuk membela kebenaran mutlak— penjelasan itu dinyatakan Allah sebagai penjelasan syetan.
Kearifan Ibrahim yang jelas dan kuat menjadi lemah karena pertanyaan-pertanyaan: Bagaimanakah aku dapat mengetahui? Bagaimanakah mungkin demikian? Ia berkata: Perintah ini kuterima di dalam mimpi. Syetan lalu menguatkan kecintaaannya kepada Ismail dan mendorongnya untuk mencari penjelasan sebagai usaha pelarian. Karena godaan-godaan syetan ia menjadi ragu-ragu, takut, dan lemah.
Wahai Ibrahim! Engkau harus mengorbankan puteramu!
Perintah yang diterimanya semakin tegas.
“Katakanlah jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (Q.S At-Taubah: 24 )
“Berangkatlah kamu dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui” (Q.S At-Taubah:41).
***
Begitulah hidup kita. Peristiwa Ibrahim dan Ismail ini merupakan sebuah fenomena betapa kita senantiasa berada dalam konflik diantara Allah dengan syetan. Di dalam lubuk hati kita selalu ada kontradiksi antara cinta dan kebijaksanaan, di antara hidup dan keyakinan, dan di antara demi diri sendiri dengan demi Allah.
Ini benar-benar sebuah fenomena di antara manusia yang sempurna dengan binatang, di antara alam dengan Allah, diantara instink dengan kebijaksanaan, diantara langit dengan bumi, diantara dunia dengan akhirat, diantara cinta kepada diri sendiri dengan cinta kepada Allah, diantara realitas dengan kebenaran, di antara kepuasan dengan kesempurnaan, di antara bagaimana adanya dengan bagaimana yang seharusnya, di antara penghambaan dengan kemerdekaan, di antara ketidakpedulian dengan sikap bertanggung jawab, di antara keyakinan dengan keingkaran, di antara untuk saya saja dengan untuk kita semua, dan terakhir sekali, di antara hidup sebagaimana adanya dengan hidup sebagaimana yang seharusnya.
Dan akhirnya Ibrahim as benar-benar memilih ketaatan kepada-Nya.
Dan engkau, siapa yang lebih engkau sayangi?Allah ataukah dirimu sendiri?
Keuntungan atau nilai?
Ketergantungan atau kemerdekaan?
Berhenti atau terus berjalan?
Kesenangan atau kesempurnaan diri?
Menikmati hidup atau menanggungkan derita tanggung jawab?
Hidup untuk hidup itu sendiri atau hidup untuk tujuannya?
Kedamaian dan cinta atau keyakinan dan perjuangan?
Mengikuti sifatmu yang asli atau kehendakmu yang sadar?
Mengabdi kepada perasaan-perasaanmu sendiri atau mengabdi kepada keyakinanmu?
Mementingkan hal-hal yang relatif atau melaksanakan perintah Allah?
Dan yang terakhir, siapakah yang engkau pilih? Allah atau “Ismail”?
Apakah masih ada “ismail-ismail” itu dalam hatimu?
Siapakah yang engkau pilih?
Allah atau “Ismail”?
(dimodifikasi dari buku “Haji” karya Ali Syariati)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment